Kota Sawahlunto dengan banyak objek wisatanya saat ini bagaikan magnet yang mampu menarik banyak wisatawan untuk datang mengerubunginya. Mulai dari deretan museum yang terkenal seperti Lubang Mbah Suro, Godang Ransum dan Museum Kerat Api dan beberapa museum lainnya, sampai pada komplek makam Belanda Kerkhof yang terhampar di atas sebuah bukit atau Gereja Katolik Santa Barbara yang berumur lebih dari 100 tahun peninggalan Belanda di masa lalu. Jangan lupakan juga Puncak Lawang, tempat wisatawan dapat memandang hamparan seluruh Kota Sawahlunto secara utuh dari ketinggian di siang hari, atau menikmati kerlap- kerlip lampu kotanya dalam balutan hawa dingin di malam hari.
Namun tahukah anda? Semua objek wisata di Sawahlunto saat ini yang dijadikan destinasi wisata andalan oleh pemerintah kotanya tidak lepas dari peran seorang insinyur Belanda di masa lalu. Ya, Willem Hendrik de Greve, demikian nama lengkapnya. Insinyur pertambangan yang dikenal dengan panggilan De Greve ini adalah seorang geolog yang menemukan batu bara Ombilin Sawahlunto di tahun 1868 lalu.

Sulit rasanya melepaskan nama De Greve bila kita membicarakan sejarah pertambangan batu bara dan Kota Sawahlunto itu sendiri. Zaman sekarang malah nama De Greve tidak dapat dipisahkan dari dunia pariwisata Kota Sawahlunto. Apalagi jika bukan karena kontribusi De Greve yang tidak diragukan lagi dalam sejarah penemuan batu bara Ombilin- Sawahlunto.
Siapa De Greve?
Titik awal sejarah pertambangan batu bara di Kota Sawahlunto dimulai saat hasil penelitian Insinyur Tambang William Hendrik De Greve ditindaklanjuti oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Namanya kemudian begitu akrab dalam perbincangan sejarah industri pertambangan batu bara Ombilin- Sawahlunto.
De Greve lahir pada 15 April 1840 di sebuah kota yang berjuluk Froon-Acker (Franeker) yang bermakna “Negara atau Negeri Raja”. William Hendrik De Greve tergolong anak muda yang jenius, di usia 15 tahun ia sudah menempuh pendidikan formal di Akademi Delft di tahun 1855, dengan menekuni bidang pertambangan. De Greve meraih gelar insinyurnya pata tahun 1859 di usia 19 tahun.

Surat Keputusan Kerajaan Belanda tertanggal 14 Desember 1861, menempatkan De Greve ke dalam daftar salah satu calon insinyur untuk mengikuti pelatihan. Dua minggu setelah keluarnya surat penugasan dirinya, pada 27 Desember 1861, De Greve melepas masa lajangnya bersama putri W.H. Baron van Houvell, bernama ELT Baroness, kelahiran 6 Agustus 1839.
Setelah menikah, De Greve sibuk menggeluti pelatihannya dan bekerja di beberapa perusahaan pertambangan. De Greve memulai debutnya di dalam dunia pertambangan di negeri jajahan, Hindia Belanda pada bulan Agustus 1862.
Awal menginjakan kaki di Hindia Belanda, De Greve bertugas di Buitenzorg (Bogor), karena ketekunannnya, di tahun 1863 ia mencapai posisi insinyur golongan tiga. Tahun 1864 De Greve bertugas di Pulau Timah, Banka, kemudian berpindah ke Jawa Barat, Pulau Seram, untuk kemudian meraih posisi insinyur golongan dua pada tahun 1865.
De Greve kemudian ditugaskan ke kepulauan Andalas, Sumatera, tepatnya di Padangsche-Bovenlanden, begitu Belanda menyebut daerah pedalaman ini. Ia menyelidiki biji tembaga hingga ke Ford de Kock, Bukittinggi.
Di Ombilin- Sawahlunto, batu bara sudah diteliti sebelumnya oleh insinyur Belanda lainnya, C. De Groot van Embden. Beliau bukan gagal dalam hal ini. Penelitiannya adalah penelitian permulaan untuk merintis. Apa yang telah dilakukan oleh De Groot sudah cukup menjadi wacana di negeri Belanda. Endapan bahan mineral tambang batu bara di Ombilin- Sawahlunto sudah menumbuhkan keyakinan Belanda tentang keberadaannya. Hanya saja eksplorasi detail dan terperinci perlu dilakukan lebih dalam lagi mengenai jumlahnya, luas sebarannya perlu dikaji lebih mendalam lagi.
Untuk itulah De Greve ditugaskan di Ombilin- Sawahlunto ini oleh Belanda dengan Surat Keputusan Gubernur Jendral Hindia Belanda tanggal 26 Mei 1867, untuk mengeksplorasi lebih jauh mineral yang terkandung di daerah ini.
Bak lakon yang sedang berpetualang, De Greve melakukan banyak ekspedisi menaiki perbukitan, menuruni lembah hingga menelusuri anak-anak sungai, keluar- masuk hutan belantara Sumatera.
Hampir di setiap ekspedisi yang dilakukan oleh De Greve memanfaatkan penduduk lokal, mengikutsertakan penduduk di sekitar wilayah kerja tentunya sangat membantu. Setidaknya warga lokal menguasai seluk beluk wilayah dan bentang alam serta budaya setempat.

Foto : id.wikipedia.org
De Greve menjadikan berbagai gejala, material alam sebagai petunjuk geologis penyelidikannya. Berbagai macam jenis bebatuan dan tumbuhan di sepanjang jalur ekspedisinya tidak luput dari pengamatan. Beberapa bagian material tersebut diambil sebagai contoh untuk pengujian di laboratorium berjalannya ataupun pengujian laboratorium di Padang nantinya. Jika diperlukan bahan tersebut dikirim atau dibawa ke Batavia sampai ke Nederlands.Seluruh bahan menjadi indikator penting untuk penelitian De Greve.
Sesudah mengkaji banyak petunjuk yang didapatkan oleh De Greve hingga tahun 1869, secara meyakinkan De Greve menyatakan bahwa keberadaan batu bara di jalur Ombilin memang nyata adanya. Dari serpihan yang ia temukan dan selidiki, ternyata batu bara di Ombilin adalah batu bara yang mengandung kalori sangat baik.
Temuan lapisan batu bara di Ulu Air tepian Sungai Ombilin mengantarkan De Greve menguak rahasia “emas hitam” yang terpendam di wilayah ini. Intensifitas kerja De Greve di Ombilin- Sawahlunto tidak sia-sia. Cadangan emas hitam ini diperkirakan tersedia lebih dari 200 juta ton. Diantaranya tersebar di beberapa lokasi seperti, Parambahan, Lembah Soegar, Durian, Sigaloet, Sawah Rasau, Sungai Durian, dan Tanah Hitam. Nama harum sudah menyebar menanti De Greve di Negeri Belanda.
Tahun 1870 De Greve secara resmi melaporkan hasil penelitiannya yang membanggakan ini ke Negeri Belanda. Setahun kemudian, 1871, laporan itu dipublikasikan bersama W.A. Henny, dengan judul; Het Ombilien-kolenveld in de Padangsche Bovenlanden en het Transportstelsel op Sumatra’s Weskust (Batu Bara Ombilien di Pedalaman Minangkabau dan Sistim Transportasi di Sumatra Barat).
Langkah selanjutnya menunggu waktu eksplorasi.
Batang Kuantan Tempat Berbaring
Setelah menuntaskan penyelidikannya untuk Ombilin- Sawahlunto, dengan semangat tenaga mudanya De Greve ingin menjelajahi kemungkinan jalur transportasi ke Pantai Timur Sumatera. Bulan Oktober 1871 ia melanjutkan menyingkap ladang- ladang batu bara dengan menghiliri Sungai Batang Kuantan hingga ke Sungai Indragiri. Tercatat bahwa De Greve dua kali melakukan ekspedisi ke daerah ini.
Pada ekspedisi kedua De Greve ke Sungai Batang Kuantan, ia tak lupa membawa serta warga lokal sebagai anggota ekspedisinya. De Greve memutuskan menggunakan perahu kayu untuk menyusuri Sungai Batang Kuantan ini.
Perahu rombongan De Greve meluncur hebat terbawa arus deras Sungai Batang Kuantan. Juru kendali perahu bekerja keras mengendalikan perahu agar tetap stabil di permukaan arus air yang liar. Sauh dan jangkar disiapkan untuk menghentikan laju perahu di air deras, namun perahu terombang-ambing semakin tidak terkendali.
Keadaan menjadi kacau, orang- orang berusaha menyelamatkan diri, berusaha meraih apapun untuk berpegangan saat perahu- perahu itu terbalik ke dalam pusaran air Sungan Batang Kuantan. Mereka berenang sebisanya untuk mencapai tepian sungai meski tercerai- berai.
De Greve dihempaskan, ditenggelamkan dan diombang-ambingkan arus liar Sungai Batang Kuantan, ia hanyut semakin jauh terbawa air. Insiden ini merengut nyawa insinyur muda itu dan mengakhiri kiprah geolog muda itu. Tragedi itu terjadi pada 22 Oktober 1872, dimana De Greve kemudian dikuburkan di dataran tinggi di pinggir Sungai Batang Kuantan. Tempat dimana De Greve berbaring saat ini berada di Pulau Godang, Jorong Koto Hilia, Nagari Durian Gadang.
Pencarian De Greve
Motor roda dua yang aku naiki dibonceng oleh Andes terseok- seok mendaki perbukitan demi perbukitan di dalam kawasan geopark Silokek ini. Jalanan berbatu naik- turun ini sempit untuk dilalui oleh kendaraan beroda empat. Jika dipaksakanpun, dua kendaraan harus berhati- hati dan salah satu harus mengalah jika berselisih. Di satu sisi mepet ke tebing bukit tidak bisa bergerak lagi, di sisi lain adalah jurang menganga ke lembah di bawah sana.
Tujuan kami mengikuti alur jalanan di dalam hutan perbukitan ini adalah berkunjung ke situs makam penemu batu bara Ombilin- Sawahluntu, makam De Greve. Jalan yang kami tempuh mulai menelusuri pinggiran Sungai Batang Kuantan, sungai dimana De Greve tewas saat melaksanakan ekspedisi keduanya ke daerah ini.
Permukaan Sungai Batang Kuantan keruh, beberapa mesin dompleng pencari bijih emas beroperasi di sepanjang tepian Batang Kuantan ini. Aku membayangkan masa dimana De Greve memulai ekspedsinya di masa lalu di sungai ini. Tentunya di masa itu sungai ini dalam kondisi jernih, walaupun riak pusarannya tetap sangar seperti yang aku lihat di perjalanan ini.

Butuh waktu sekitar 1 jam berkendara dari Kota Sijunjung menuju Nagari Durin Gadang, tempat De Greve dimakamkan. Kami hanya harus bertanya ke penduduk yang kami jumpai di sepanjang jalan untuk mencari kampung kecil bernama Pulau Godang, Jorong Koto Hilia.
Seorang warga lokal mengarahkan kami untuk menyeberangi Sungai Batang Kuantan melalui sebuah jembatan gantung yang hanya muat dilalui oleh satu sepeda motor saja. Menurut warga lokal tersebut, di seberang sungai itulah kampung Pulau Godang, Jorong Koto Hilia berada.

Sesampainya di kampung Pulau Godang, Jorong Koto Hilia ini, kami juga harus bertanya- tanya kembali ke penduduk yang ada di sini, dimana letak makam orang Belanda yang dikuburkan di kampung ini. Ya, mereka tidak mengerti jika ditanyakan makam De Greve, mereka hanya tahu makam Belanda, makam itu adalah makam satu- satunya orang Belanda yang dikubur di kampung Pulau Godang, Jorong Koto Hilia.

Jalan yang kami tempuh berupa jalan setapak bersemen. Beberapa warga memanfaatkan jalan sempit ini untuk menjemur padi dan kopi. Di beberapa titik, rumah gadang sebagai rumah tradisional Minang masih dapat dijumpai walupun sepertinya sudah tidak ditinggali lagi.
Kami berhenti tak jauh dari letak sebuah masjid di kampung Pulau Godang, Jorong Koto Hilia ini. Perjalanan kami lanjutkan dengan berjalan kaki karena tidak ada jalan untuk kendaraan bermotor.

Kami melewati beberapa beranda depan rumah warga lokal, membungkuk di beberapa tali jemuran rumah warga dan tak berapa lama kemudian kami sampai di sebuah tanah datar dipenuhi ilalang setinggi betis orang dewasa. Beberapa pohon kelapa tumbuh di tanah datar ini, Di salah satu sudutnya jelas terlihat bangunan yang disemen persegi empat sedikit miring, yang dijadikan nisan bagi sebuah makam.
Di atas bangunan semen yang sudah retak tersebut, tertulis:
“Hier rust de mijn ingenieur W.H. de Greve den October 1872 door een ongelekkig toeval alhier omgekomen R.I.P” (Di sini beristirahat dengan tenang insinyur pertambangan W.H. de Greve pada 22 Oktober 1872, meninggal di tempat ini karena kecelakaan).


Demikian kata penghormatan yang terpahat di batu nisan besar yang terhampar di atas tanah peristirahatan terakhir sang geolog yang menjadikan Sawahlunto menjadi kota industri, kemudian beralih menjadi kota wisata saat ini.
Siapa sangka revolusi industri yang melanda Sawahlunto yang pada masa itu hanyalah sebuah negeri di pedalaman Sumatera Barat yang tidak dikenal dan dalam kegelapan sama sekali, langsung dikenal sampai ke Negeri Belanda sana.
“Efek Sawahlunto” sangat berpengaruh terhadap tekhnologi uap yang dikembangkan oleh James Watt sejak pertengahan abad ke-18 di Eropa Barat. Perhitungan kepentingan ekonomi Belanda menjadi kalkulasi yang lebih penting lagi. Pembukaan dan ekploitasi batu bara ombilin di Sawahlunto membawa banyak konsekwensi. Proyek ini membutuhkan banyak energy, dukungan biaya, alat transportasi, jalur rel kereta api, pelabuhan laut, gedung perkantoran, pemukiman buruh, rumah dinas pejabat dan perkakas mesin. Itu semua tumbuh dengan cepat bak cendawan di musim hujan. Bukan hanya di Sawahlunto, namun juga melebar ke seluruh Sumatera Barat.
Pada Maret 1891, Ijzerman melakukan survey jalur alternatif menuju Pantai Timur. Sementara itu pembangunan jalan kereta api dari Pulau Air ke Muaro Kalaban secera bertahap berjalan. Jalur kereta api dari Pulau Air ke Padangpanjang sejauh 71 KM rampung di bualan Juli 1891, sedangkan lintasan Padangpanjang ke Bukittinggi sepanjang 19 KM selesai bulan November 1891. Bentang jalur rel 53 KM Padangpanjang ke Solok selesai 1 Juli 1892, dan Solok ke Muaro Kalaban sejauh 23 KM serta Padang ke Teluk Bayur sepanjang 7 KM selesai pada 1 Oktober 2892.
Untuk menghubungkan Muaro Kalaban ke pusat Sawahlunto di Lembah Segar, pembangunan rel kereta api dihadang oleh perbukitan, untuk itu dibuatkanlah terowongan bawah tanah sepanjang hampir 1 KM (875 meter), dapat diselesaikan 1 Januari 1894.
Semua infrastruktur yang dibangun akibat “Efek Sawahlunto” itu, saat ini menjadi asset bagi pariwisata di Kota Sawahlunto saat batu bara sudah redup. Sebut saja gedung perkantoran yang satu komplek dengan dapur untuk memasak bagi buruh penggali lubang batu bara saat ini beralih fungsi menjadi “Museum Goedang Ransoem”. Stasiun kereta api berubah menjadi “Museum Kereta Api”, lubang bekas galian batu bara bermetafora menjadi “Museum Mbah Soero”, sementara terowongan kereta api yang menembus bukit batu cadas saat ini menjadi objek wisata yang dikenal dengan nama “Lobang Kalam”.
Pemakaman orang- orang Belanda yang meninggal di Sawahlunto juga menjadi destinasi wisata sejarah bagi kota ini dengan label “Situs Pemakaman Kerkhof”. Sementara Gereja Katolik Santa Barbara yang merupakan satu- satunya gereja katolik di kota ini juga menjadi bangunan bersejarah yang menjadi cagar budaya bagi Kota Sawahlunto. Jangan lupakan juga Danau Biru, danau yang terbentuk dari bekas galian batu bara yang terendam air yang lama- kelamaan berwarna biru, saat ini menjadi salah satu destinasi wisata andalan Kota Sawahlunto.

Sudah semestinya kota ini berterima kasih kepada De Greve dengan memelihara situs makamnya yang terletak jauh di pelosok kampung di dalam hutan Sijunjung sana.
Bams @2019